Senin, 31 Oktober 2011

PENDAHULUAN Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik. TEORI Faktor penyebab konflik • Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan. Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur. • Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik. • Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok. Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka. • Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat. Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada. Jenis-jenis konflik Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 4 macam : • Konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role)) • Konflik antar perorangan. • Konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank). • Konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa). • Koonflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara) • Konflik antar atau tidak antar agama • Konflik antar politik. PEMBAHASAN KONFLIK ANTAR KELOMPOK PENGAMEN (Study Tentang Konflik Antara Kelompok Pengamen Tetap Dengan Pengamen Tidak Tetap Di Alun alun Kota Malang) Pertumbuhan pembangunan yang semakin pesat tentunya akan membawa dampak bagi perekonomian masyarakat. Banyaknya persaingan lapangan kerja yang semakin ketat menjadikan tingkat pengangguran semakin meningkat. Hal ini didukung oleh semakin minimnya kesediaan lapangan kerja dan keterampilan yang memadai maka individu akan tersingkir dari persaingan apalagi di kota besar. Belum lagi beban hidup yang harus ditanggung semakin berat. Kota-kota besar yang ada di negara berkembang seperti Indonesia memiliki problematika yang hampir sama di setiap daerah yaitu meningkatnya angka kriminalitas, para pengamen, anak-anak jalanan dan masih banyak lagi yang lain. Para pengamen seringkali kita jumpai di stasiun-stasiun, halte bus sampai rumah makan atau warung dan perempatan lampu merah. Kehidupan para pengamen yang sangat keras membuat mereka di hadapkan pada suatu hal yaitu sering terjadi konflik di antara mereka sesama pengamen misalnya sering terjadi tawuran atau perkelahian karena perebutan lahan dan masalah- masalah yang lain seperti kesalahpahaman. Konflik semacam ini juga di alami oleh para pengamen di alun-alun kota Malang. Dimana alun-alun sebagai lahan mengamen bagi pengamen tetap dan pengamen lain di luar kelompok tersebut tidak dapat dengan bebas mengamen di sana. Hal inilah yang sering menimbulkan konflik yang seringkali berujung pada kekerasan diantara mereka. Kekerasan yang terjadi merupakan salah satu bentuk pengaruh lingkungan dimana mereka dituntut untuk dapat bertahan hidup di perkotaaan. Jenis penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Dimana subjek penelitian adalah kelompok pengamen tetap dan pengamen tidak tetap di alun-alun Malang. Jumlah subjek penelitian adalah 10 orang. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan observasi, wawancara mendalam dan dokumentasi. Teknik analisa data yang digunakan adalah analisa data model interaktif Miles dan Hubermas, yang memiliki empat alur kegiatan yang terjadi yakni: pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Konflik yang terjadi antara pengamen tetap dengan pengamen tidak tetap di alun-alun sudah terjadi sejak tahun 1994, setelah pembentukan pengamen tetap di alun-alun. Penyebab terjadinya konflik karena perebutan lahan mengamen, dimana pada saat itu krisis ekonomi juga ikut berpengaruh. Para pengamen beralasan bahwa beban ekonomi semakin meningkat sedangkan pendapatan mereka semakin sulit. Konflik para pengamen ini berujung pada kekerasan yang mana seringnya terjadi aksi pengeroyoan ataupun tawuran serta penganiayaan. Sebelum terjadi aksi kekerasan tersebut bentuk konflik yang terjadi adalah saling mencemooh, saling mengumpat dan lain-lain. Konflik yang terjadi tetap di menangkan oleh salah satu kelompok yaiu kelompok pengamen tetap sebab kelompok pengamen tetap memiliki kekuasaan di alun-alun yang di dukung oleh oknum dari Satpol PP dan Dinas Terkait. Meskipun sampai sekarang konflik itu masih sering terjadi. Kegiatan yang mereka lakukan sehari-hari dialun-alun adalah salah satu bentuk perjuangan mereka dikota untuk dapat bertahan hidup sebab persaingan dalam sektor formal sangat sulit diwujudkan apalagi mereka hanya berpendidikan rendah. Sedangkan, pekerjaan dalam sektor formal membutuhkan berbagai persyaratan yang berlebih. Maka dari itu penghasilan mereka jika dibandingkan sektor formal sangat jauh dan untuk bertahan hidup mereka harus berjuang keras. Dengan adanya perjuangan untuk dapat bertahan dalam kerasnya kehidupan di kota, membuat mereka menghadapi berbagai macam permasalahan yang seringkali berujung pada kekerasan. Sikap yang tempramental atau emosional merupakan salah satu ciri fisik yang menonjol dari para pengamen tersebut. Hal ini dikarenakan keadaan lingkungan yang mempengaruhi, sehingga sedikit salahpaham ataupun adanya persaingan dalam hal lahan pekerjaan diantara mereka akan menimbulkan konflik yang berujung pada kekerasan. Kekerasan dapat berupa pengeroyokan, perkelahian juga tawuran dan lain sebagainya. Kesimpulan Dari permasalan diatas, memang sering terjadi konflik antar kelompok, misalnya antara pengamen tetap dan pengamen tidak tetap yang berada di alunu-alun kota malang tersebut. Banyak fakor terjadinya konflik seperti permasalahan di atas, yaitu karena perebutan lahan mengamen, dimana pada saat itu krisis ekonomi juga ikut berpengaruh. Sumber http://www.wikipedia.org/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar