Jumat, 05 November 2010

BAB 7 MASYARAKAT PERKOTAAN DAN MASYARAKAT PEDESAAN (SOFTSKILL)

KELOMPOK 6
KELAS 1KA24

1. Jelaskan Sifat dan Hakikat Masyarakat Pedesaan 
     Seperti dikemukakan oleh para ahli atau sumber bahwa masyarakat Indonesia lebih dari 80% tinggal di pedesaan dengan mata pencarian yang bersifat agraris. Masyarakat pedesaan yang agraris biasanya dipandang antara sepintas kilas dinilai oleh orang-orang kota sebagai masyarakat tentang damai, harmonis yaitu masyarakat yang adem ayem, sehingga oleh orang kota dianggap sebagai tempat untuk melepaskan lelah dari segala kesibukan, keramaian dan keruwetan atau kekusutan pikir.
      Maka tidak jarang orang kota melepaskan segala kelelahan dan kekusutan pikir tersebut pergilah mereka ke luar kota, karena merupakan tempat yang adem ayem, penuh ketenangan. Tetapi sebetulnya ketenangan masyarakat pedesaan itu hanyalah terbawa oleh sifat masyarakat itu yang oleh Ferdinand Tonies diistilahkan dengan masyarakat gemeinschaft (paguyuban). Jadi Paguyuban masyarakat itulah yang menyebabkan orang-orang kota menilai sebagai masyarakat itu tenang harmonis, rukun dan damai dengan julukan masyarakat yang adem ayem.
      Tetapi sebenarnya di dalam masyarakat pedesaan kita ini mengenal bermacam-macam gejala, khususnya hal ini merupakan sebab-sebab bahwa di dalam masyarakat pedesaan penuh dengan ketegangan-ketegangan sosial.


2. Menyebutkan Macam-macam Gejala Masyarakat Pedesaan
a) Konflik ( Pertengkaran)
Ramalan orang kota bahwa masyarakat pedesaan adalah masyarakat yang tenang dan harmonis itu memang tidak sesuai dengan kenyataan sebab yang benar dalam masyarakat pedesaan adalah penuh masalah dan banyak ketegangan. Karena setiap hari mereka yang selalu berdekatan dengan orang-orang tetangganya secara terus-menerus dan hal ini menyebabkan kesempatan untuk bertengkar amat banyak sehingga kemungkinan terjadi peristiwa-peristiwa peledakan dari ketegangan amat banyak dan sering terjadi.
Pertengkaran-pertengkaran yang terjadi biasanya berkisar pada masalah sehari-hari rumah tangga dan sering menjalar ke luar rumah tangga. Sedang sumber banyak pertengkaran itu rupa-rupanya berkisar pada masalah kedudukan dan gengsi, perkawinan, dan sebagainya.


b) Kontraversi (pertentangan)
Pertentangan ini bisa disebabkan oleh perubahan konsep-konsep kebudayaan (adat-istiadat), psikologi atau dalam hubungannya dengan guna-guna (black magic). Para ahli hukum adat biasanya meninjau masalah kontraversi (pertentangan) ini dari sudut kebiasaan masyarakat.


c) Kompetisi (Persiapan)
Sesuai dengan kodratnya masyarakat pedesaan adalah manusia-manusia yang mempunyai sifat-sifat sebagai manusia biasanya yang antara lain mempunyai saingan dengan manifestasi sebagai sifat ini. Oleh karena itu maka wujud persaingan itu bisa positif dan bisa negatif. Positif bila persaingan wujudnya saling meningkatkan usaha untuk meningkatkan prestasi dan produksi atau output (hasil). Sebaliknya yang negatif bila persaingan ini hanya berhenti pada sifat iri, yang tidak mau berusaha sehingga kadang-kadang hanya melancarkan fitnah-fitnah saja, yang hal ini kurang ada manfaatnya sebaliknya menambah ketegangan dalam masyarakat.


d) Kegiatan pada Masyarakat Pedesaan
Masyarakat pedesaan mempunyai penilaian yang tinggi terhadap mereka yang dapat bekerja keras tanpa bantuan orang lain. Jadi jelas masyarakat pedesaan bukanlah masyarakat yang senang diam-diam tanpa aktivitas, tanpa adanya suatu kegiatan tetapi kenyataannya adalah sebaliknya. Jadi apabila orang berpendapat bahwa orang desa didorong untuk bekerja lebih keras, maka hal ini tidaklah mendapat sambutan yang sangat dari para ahli. Karena pada umumnya masyarakat sudah bekerja keras.
Tetapi para ahli lebih untuk memberikan perangsang-perangsang yang dapat menarik aktivitas masyarakat pedesaan dan hal ini di pandang sangat perlu. Dan dijaga agar cara dan irama bekerja bisa efektif dan efisien secara kontinyu.


STUDI KASUS
Tradisi Dugderan di Kota Semarang
Tradisi dugderan ikut menyemarakkan datangnya bulan puasa khususnya di Kota Semarang. Dengan mengusung warak ngendhog sebagai ikonnya, yaitu binatang yang bentuknya menyerupai persilangan naga dan kuda yang dilengkapi dengan sebutirendhog (telur). Tak hanya itu saja, kerajinan kapal dan othok-othok selalu diidentikkan dengan tradisi ini. Semua barang tersebut tentu akan sulit dijumpai di hari-hari biasa. Selain di seputar Semarang, banyak pula pedagang yang berasal dari luar kota hanya untuk mengadu peruntungan. Diantaranya dari Brebes, Jepara, Sidoarjo, dan masih banyak lagi.



OPINI
Di negara Indonesia ini masih saja mengikuti tradisi yang di lakukan oleh nenek moyang pada zaman dahulu. seperti di kota Semarang, dengan mengusung warak ngendhog sebagai ikonnya, yaitu binatang yang bentuknya menyerupai persilangan naga dan kuda yang dilengkapi dengan sebutirendhog (telur). Tak hanya itu saja, kerajinan kapal dan othok-othok selalu diidentikkan dengan tradisi ini. Semua barang tersebut tentu akan sulit dijumpai di hari-hari biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar