Nama : Dyna Marlyna Suryani
NPM : 19110250
Kelas : 1KA24
Tanggung Jawab Seorang Siswa
Tanggungjawab mungkin bisa diartikan sebagai konsekuensi yang harus diterima atau dijalankan terhadap apa yang sudah dilakukan atau dijalani. Kita sering mendengar kata “lepas tanggungjawab” artinya tidak mau mempertanggungjawabkan apa yang sudah dilakukan (lempar batu sembunyi tangan). Ada tihal penting yang harus dipahami dan dijalankan oleh seorang siswa atau pelajar berkenaan dengan tanggungjawab.
1. Tanggungjawab sebagai seorang pelajar/siswa
Setiap siswa harus menanamkan rasa tanggungjawab pada diri masing-masing. tanggungjawab siswa sebagai pelajar adalah belajar dengan baik, mengerjakan tugas sekolah yang sudah diberikan kepadanya, disiplin dalam menjalani tata tertib sekolah. Artinya setiap siswa wajib dan mutlak melaksanakan tanggungjawab tersebut tanpa terkecuali. Tap kenyataannya banyak siswa yang merasa terbebani dengan kewajiban mereka sebagai pelajar. siswa berangkat ke sekolah tidak lagi untuk tujuan belajar, akan tetapi dijadikan sebagai ajang untuk ketemu, kumpul dengan teman-teman, ngobrol dan lain sebagainya. sementara tugas sejatinya untuk belajar dan menimba ilmu sudah bukan lagi menjadi pokok. tapi ini realita dan potret siswa masa kini. selalu menginginkan sesuatu tanpa bersusah payah. menyerah sebelum berjuang, kalah sebelum bertanding.
2. Tanggungjawab sebagai seorang anak
Banyak siswa tidak menyadari atau menyadari tapi tidak mau melakukan penyadaran diri, bahwa orangtua tidak menginginkan banyak hal pada dirinya. hanya satu yang diinginkan oleh orangtua yaitu anak saya bisa bersekolah, belajar dengan baik dan kelak lulus mempunyai kehidupan lebih baik dari orangtuanya. sekali lagi, hanya itu wahai para siswa tercinta. Tidak kah kita pernah membayangkan, bagaimana orangtua membanting tulang mencari biaya untuk kita bersekolah. tidak pernah terbersit sedikit-pun dalam benak mereka agar kalian mengganti apa yang sudah diberikan. Tidak kah pernah kita pikirkan, bagaimana orangtua kita memutar otak untuk kita, tapi apa balasan yang kita berikan. semuanya kita balas dengan kemalasan dan kebohongan. kita malas bersekolah, berbohong ke sekolah tapi tidak sampai. sekali lagi inilah potret siswa masa kini (walaupun tidak semua)
3. Tanggungjawab sebagai seorang hamba
Sudahkah kita menjalankan kewajiban kita sebagai orang yang beragama. Banyak diantara kita yang mampu secara akademis, tercukupi dari segi materi tapi jiwanya kosong karena tidak tersentuh oleh nilai-nilai ibadah. Untukmu para siswa, jalankan kewajiban sebagai umat, jangan banyak meminta tapi mengabaikan tugasmu sebagai seorang hamba. Kita mendekatkan diri pada-Nya manakala kita berada pada kondisi terjepit dalam kehidupan. Bayangkan betapa indahnya hidup kita seandainya ketiga tanggungjawab ini seiring sejalan atau saling terintegrasi. Insya Allah akan terbentuk siswa-siswa yang cerdas akademik dan pribadi yang sholeh sehingga pada akhirnya akan lahir generasi penerus yang membanggakan.
OPINI
Sebagai siswa harus mematuhi tanggung jawab yang telah diberikan oleh sekolah, salah satunya harus berpakaian rapih, mematuhi aturan yang ada, dan yang terpenting belajar yang rajin agar bisa naik kelas. Kita juga sebagai anak memiliki tanggung jawab yang besar yaitu mematuhi kedua orang tua, dan tunduk kepada Allah SWT sebagai seorang muslim.
SUMBER
http://hlasrinkosgorobogor.wordpress.com/2008/10/24/tanggungjawab-seorang-siswa/
Minggu, 17 April 2011
BAB 9 Manusia dan Tanggung Jawab (Tulisan Ke-1)
Nama : Dyna Marlyna Suryani
NPM : 19110250
Kelas : 1KA24
Jakarta - Para anggota dari fraksi-fraksi di DPR yang belakangan menolak pembangunan gedung baru diminta tak lari dari tanggung jawab dengan alasan warisan DPR periode 2004-2009. Pembangunan Gedung Baru DPR adalah keputusan DPR periode sekarang, jangan sembunyi!
"Yang mutuskan kan kita sekarang, periode yang lalu ya lalu. Kita nggak usah lari dari tanggung jawab. Ini kan sudah dilalui, jadi ya tanggung jawab kita," jelas Sekjen Golkar Idrus Marham.
Hal itu disampaikan Idrus di sela-sela sidang paripurna DPR, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (5/4/2011).
Karena para anggota DPR periode 2009-2014 yang memutuskan, maka harus gentle dan jangan lari. Apalagi berkata mencla-mencle.
"Karena kita yang mutuskan kita yang gentle. Ini kan seolah-olah semua sembunyi. Katanya mencla-mencle. Yang penting faktanya bisa dipertanggungjawabkan dan yang punya tanggung jawab itu yang mutusin," jelasnya.
Mengenai ruangan DPR yang budgetnya Rp 800 juta per anggota Dewan, bisa dibicarakan lagi bentuknya seperti apa. Mengenai sikap Golkar, dalam rapat konsultasi membahas gedung baru hari ini, Golkar tetap setuju gedung baru karena yang sekarang sudah melebihi kapasitas.
"Siapa yang mau beli baju ya silakan saja. Masalah gedung itu yang penting sederhana, kita harus realistis bahwa parlemen butuh ruangan. Yang sekarang overload. Yang menjadi persoalannya itu modelnya seperti apa?" kata Idrus.
Namun Idrus menampik kelebihan kapasitas itu karena staf ahli anggota Dewan yang banyak, hingga 5 orang. Menurutnya, anggota Dewan tak membutuhkan staf ahli sebanyak itu.
"Ah itu kebanyakan. Menurut saya 2 atau 3 orang lah. Yang perlu ditingkatkan itu kapasitas anggota Dewan, bukan banyaknya staf," tegasnya.
OPINI
Para anggota DPR itu rata-rata hanya mementingkan diri sendiri saja, tanggung jawab yang diberikan untuk masyarakat kurang.
SUMBER
http://www.detiknews.com/read/2011/04/05/120400/1608832/10/idrus-marham-gedung-baru-dpr-tanggung-jawab-kita-jangan-lari
NPM : 19110250
Kelas : 1KA24
Jakarta - Para anggota dari fraksi-fraksi di DPR yang belakangan menolak pembangunan gedung baru diminta tak lari dari tanggung jawab dengan alasan warisan DPR periode 2004-2009. Pembangunan Gedung Baru DPR adalah keputusan DPR periode sekarang, jangan sembunyi!
"Yang mutuskan kan kita sekarang, periode yang lalu ya lalu. Kita nggak usah lari dari tanggung jawab. Ini kan sudah dilalui, jadi ya tanggung jawab kita," jelas Sekjen Golkar Idrus Marham.
Hal itu disampaikan Idrus di sela-sela sidang paripurna DPR, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (5/4/2011).
Karena para anggota DPR periode 2009-2014 yang memutuskan, maka harus gentle dan jangan lari. Apalagi berkata mencla-mencle.
"Karena kita yang mutuskan kita yang gentle. Ini kan seolah-olah semua sembunyi. Katanya mencla-mencle. Yang penting faktanya bisa dipertanggungjawabkan dan yang punya tanggung jawab itu yang mutusin," jelasnya.
Mengenai ruangan DPR yang budgetnya Rp 800 juta per anggota Dewan, bisa dibicarakan lagi bentuknya seperti apa. Mengenai sikap Golkar, dalam rapat konsultasi membahas gedung baru hari ini, Golkar tetap setuju gedung baru karena yang sekarang sudah melebihi kapasitas.
"Siapa yang mau beli baju ya silakan saja. Masalah gedung itu yang penting sederhana, kita harus realistis bahwa parlemen butuh ruangan. Yang sekarang overload. Yang menjadi persoalannya itu modelnya seperti apa?" kata Idrus.
Namun Idrus menampik kelebihan kapasitas itu karena staf ahli anggota Dewan yang banyak, hingga 5 orang. Menurutnya, anggota Dewan tak membutuhkan staf ahli sebanyak itu.
"Ah itu kebanyakan. Menurut saya 2 atau 3 orang lah. Yang perlu ditingkatkan itu kapasitas anggota Dewan, bukan banyaknya staf," tegasnya.
OPINI
Para anggota DPR itu rata-rata hanya mementingkan diri sendiri saja, tanggung jawab yang diberikan untuk masyarakat kurang.
SUMBER
http://www.detiknews.com/read/2011/04/05/120400/1608832/10/idrus-marham-gedung-baru-dpr-tanggung-jawab-kita-jangan-lari
Rabu, 13 April 2011
BAB 8 Manusia dan Pandangan Hidup (Tulisan Ke-2)
Nama : Dyna Marlyna Suryani
NPM : 19110250
Kelas : 1KA24
KISAH PANDANGAN HIDUP
Suatu ketika seseorang yang sangat kaya mengajak anaknya mengunjungi sebuah kampung dengan tujuan utama memperlihatkan kepada anaknya betapa orang-orang bisa sangat miskin.
Mereka menginap beberapa hari di sebuah daerah pertanian yang sangat miskin. Sambil menceritakan bagaimana rahasia ayahnya dapat sesukses ini dan memiliki masa depan yang sangat lebih dari cukup.
Pada perjalanan pulang, sang Ayah bertanya kepada anaknya. “Bagaimana perjalanan kali ini?”
“Wah, sangat luar biasa Ayah”
“Kau lihatkan betapa manusia bisa sangat miskin” kata ayahnya.
“Oh iya” kata anaknya
“Jadi, pelajaran apa yang dapat kamu ambil?” tanya ayahnya.
Kemudian si anak menjawab.
“Saya saksikan bahwa :
Kita hanya punya satu anjing, mereka punya empat.
Kita punya kolam renang yang luasnya sampai ketengah taman kita dan mereka memiliki telaga yang tidak ada batasnya.
Kita mengimpor lentera-lentera di taman kita dan mereka memiliki bintang-bintang pada malam hari.
Kita memiliki patio sampai ke halaman depan, dan mereka memiliki cakrawala secara utuh.
Kita memiliki sebidang tanah untuk tempat tinggal dan mereka memiliki ladang yang melampaui pandangan kita.
Kita punya pelayan-pelayan untuk melayani kita, tapi mereka melayani sesamanya.
Kita membeli untuk makanan kita, mereka menumbuhkannya sendiri.
Kita mempunyai tembok untuk melindungi kekayaan kita dan mereka memiliki sahabat-sahabat untuk saling melindungi.”
Mendengar hal ini sang Ayah tak dapat berbicara.
Kemudian sang anak menambahkan “Terimakasih Ayah, telah menunjukkan kepada saya betapa miskinnya kita.”
Betapa seringnya kita melupakan apa yang kita miliki dan terus memikirkan apa yang tidak kita punya.
Apa yang dianggap tidak berharga oleh seseorang ternyata merupakan dambaan bagi orang lain.
Semua ini berdasarkan kepada cara pandang seseorang. Bagaimana kita menyikapi hidup ini karena hidup ini menyimpan banyak sekali rahasia masa depan yang terpendam. Misteri itu masih menunggu untuk digali menggunakan potensi yang ada dalam diri kita.
OPINI
Menurut saya, dari kisah diatas ini bahwa sebagai makhluk sosial harus saling bertoleransi dan bersosialisasi satu sama lain, jangan ada deskriminasi karena makhluk Tuhan diciptakannya sama saja jadi tidak perlu ada yang mengagungkan diri sendiri atau merendahkan orang lain.
SUMBER
http://umum.kompasiana.com/2009/06/01/kisah-pandangan-hidup-manusia/
NPM : 19110250
Kelas : 1KA24
KISAH PANDANGAN HIDUP
Suatu ketika seseorang yang sangat kaya mengajak anaknya mengunjungi sebuah kampung dengan tujuan utama memperlihatkan kepada anaknya betapa orang-orang bisa sangat miskin.
Mereka menginap beberapa hari di sebuah daerah pertanian yang sangat miskin. Sambil menceritakan bagaimana rahasia ayahnya dapat sesukses ini dan memiliki masa depan yang sangat lebih dari cukup.
Pada perjalanan pulang, sang Ayah bertanya kepada anaknya. “Bagaimana perjalanan kali ini?”
“Wah, sangat luar biasa Ayah”
“Kau lihatkan betapa manusia bisa sangat miskin” kata ayahnya.
“Oh iya” kata anaknya
“Jadi, pelajaran apa yang dapat kamu ambil?” tanya ayahnya.
Kemudian si anak menjawab.
“Saya saksikan bahwa :
Kita hanya punya satu anjing, mereka punya empat.
Kita punya kolam renang yang luasnya sampai ketengah taman kita dan mereka memiliki telaga yang tidak ada batasnya.
Kita mengimpor lentera-lentera di taman kita dan mereka memiliki bintang-bintang pada malam hari.
Kita memiliki patio sampai ke halaman depan, dan mereka memiliki cakrawala secara utuh.
Kita memiliki sebidang tanah untuk tempat tinggal dan mereka memiliki ladang yang melampaui pandangan kita.
Kita punya pelayan-pelayan untuk melayani kita, tapi mereka melayani sesamanya.
Kita membeli untuk makanan kita, mereka menumbuhkannya sendiri.
Kita mempunyai tembok untuk melindungi kekayaan kita dan mereka memiliki sahabat-sahabat untuk saling melindungi.”
Mendengar hal ini sang Ayah tak dapat berbicara.
Kemudian sang anak menambahkan “Terimakasih Ayah, telah menunjukkan kepada saya betapa miskinnya kita.”
Betapa seringnya kita melupakan apa yang kita miliki dan terus memikirkan apa yang tidak kita punya.
Apa yang dianggap tidak berharga oleh seseorang ternyata merupakan dambaan bagi orang lain.
Semua ini berdasarkan kepada cara pandang seseorang. Bagaimana kita menyikapi hidup ini karena hidup ini menyimpan banyak sekali rahasia masa depan yang terpendam. Misteri itu masih menunggu untuk digali menggunakan potensi yang ada dalam diri kita.
OPINI
Menurut saya, dari kisah diatas ini bahwa sebagai makhluk sosial harus saling bertoleransi dan bersosialisasi satu sama lain, jangan ada deskriminasi karena makhluk Tuhan diciptakannya sama saja jadi tidak perlu ada yang mengagungkan diri sendiri atau merendahkan orang lain.
SUMBER
http://umum.kompasiana.com/2009/06/01/kisah-pandangan-hidup-manusia/
Minggu, 10 April 2011
BAB 8 Manusia dan Pandangan Hidup (Tulisan Ke-1)
NAMA : DYNA MARLYNA SURYANI
NPM : 191110250
KELAS : 1KA24
Suasana kelas VI B SD Suka Cerdas mendadak hening setelah Bu Wati guru Bahasa Indonesia masuk ke ruang kelas. Bu Wati memperhatikan semua muridnya. “Sebentar lagi kalian semua akan meninggalkan bangku SD dan melanjutkan ke bangku SMP. Untuk itu, ibu menyuruh kalian agar mempersiapkan sebuah karangan bebas tentang cita-cita kalian setelah selesai menamatkan pendidikan. Besok, satu per satu akan membacakan hasil karangannya di depan kelas,” kata Bu Wati kepada seluruh murid.
Tanpa diperintahkan lagi, seluruh anak didik yang berada di dalam kelas sibuk membuat karangan. Suasana yang tadinya hening mendadak riuh karena murid yang satu dengan murid yang lain saling menanyakan apa cita-citanya nanti. Melihat hal itu, Bu Wati meminta agar semua murid mengerjakannya sendiri-sendiri.
“Ingat, jangan ada yang saling mencontek karena cita-citamu itu adalah keinginan yang akan kalian raih sendiri,” tegas Bu Wati.
Di bangku belakang, Roni terlihat tidak bersemangat padahal teman sebangkunya yang bernama Tono sedang berpikir sambil menuliskan cita-citanya itu ke dalam buku. Roni bingung karena ia belum bisa memikirkan apa cita-citanya nanti karena kehidupan keluarganya yang masih serba kekurangan. Ia adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Bapaknya hanya penarik becak barang sedangkan ibunya hanya pembantu rumah tangga.
“Apa pantas aku memiliki sebuah cita-cita setelah selesai menamatkan sekolah…? Padahal aku ingin jadi seorang polisi agar bisa berdiri mengatur lalu lintas. Karena kulihat pakaian seragamnya bagus dan gagah,” desis Roni dalam hatinya.
Tak lama kemudian, bel pulang sekolah berbunyi. Bu Wati meminta kepada seluruh murid agar tugas dikerjakan di rumah dan dikumpulkan besok. Bu Wati akan memberikan penilaian kepada murid yang paling bagus dalam mengarang itu.
Dengan langkah yang tak bersemangat, Roni pulang menuju rumahnya. Setelah mengucapkan salam, ia masuk ke dalam rumah. Usai makan siang, ia menemui ayahnya yang sedang beristirahat di depan sambil menikmati hidangan kopi pahit yang dibuat oleh ibunya.
“Ayah, tadi ibu guru memberikan tugas mengarang tentang apa cita-cita setelah lulus pendidikan. Roni berkeinginan jadi seorang polisi. Agar bisa berdiri tegak di perempatan jalan mengatur lalu lintas karena Roni senang melihatnya. Dengan pakaian seragam yang bagus membuat bapak polisi lalu lintas itu terlihat gagah,” ucap Roni sambil memijit-mijit kaki ayahnya.
Mendengar ucapan putranya itu, ayah Roni tertawa terbahak-bahak.
“Roni, kau ini aneh. Cita-citamu ingin menjadi polisi lalu lintas. Dari mana jalannya bisa kau raih. Untuk biaya sekolahmu saja, ayah dan ibumu tepaksa ngutang ke Pak Muslim. Belum lagi, biaya sekolah adikmu Sri dan Dini. Syukur saja ayah dan ibumu bisa menyekolahkanmu sampai SD. Sedangkan untuk SMP nantinya? Ayah dan ibu belum tahu apakah bisa menyekolahkan kau nantinya. Jadi, jangan pernah berhayal bisa jadi polisi,” kata ayah Roni sambil tersenyum.
“Tapi, Yah. Si Tono yang bapaknya pedagang asongan di perempatan jalan itu mempunyai cita-cita ingin jadi seorang guru. Agar bisa membuat orang pintar dan cerdas. Malahan, si Rini yang bapaknya penjahit itu ingin menjadi seorang dokter. Agar bisa nantinya mengobati orang yang sakit,” ujar Roni panjang lebar.
Untuk kedua kalinya, ayah Roni tertawa terbahak-bahak setelah mendengar ucapan putranya itu.
“Dengar ya! Itu semua hanya khayalan saja. Dari mana mereka mendapat uang untuk bisa meraih cita-citanya itu? Tak usah kau dengar apa cita-cita mereka. Cukup tugasmu bagaimana menyelesaikan sekolah di SD dengan bagus. Biar nanti, ayah dan ibumu tinggal memikirkan biaya sekolah kedua adikmu itu,” ucap ayah Roni sambil memandang putranya.
Mendengar ucapan ayahnya, Roni langsung masuk ke dalam rumah. Ia menumpahkan semua kesedihannya karena keinginan atau cita-citanya yang bagus itu ternyata tidak mendapat dukungan dari ayahnya. Di dalam kamar, ia menangis tersedu.
“Mengapa ayah tidak memberi dukungan kepadaku…? Apa salah bila aku bercita-cita jadi polisi setelah selesai pendidikan, seorang petugas polisi lalu lintas itu kan mulia, mengatur arus lalu lintas dan manusia ke berbagai tujuan,” desis Roni sambil menangis.
Walaupun begitu, malam harinya Roni tetap mengerjakan tugas dari gurunya. Karena ia tak mau nanti dimarahi gurunya gara-gara tidak mengerjakan tugas. Dengan serius, ia menuliskan keinginannya untuk menjadi seorang polisi walau ayahnya tidak mendukung cita-citanya itu.
Keesokan harinya setelah usai sarapan pagi bersama kedua orangtuanya dan juga adiknya. Roni mengucapkan salam untuk pergi ke sekolah. Ia mencium telapak tangan kedua orangtuanya. Dengan riang gembira, Roni terlihat bersemangat berjalan ke sekolah.
Setelah bel tanda masuk berbunyi, para murid SD Suka Cerdas segera berbaris rapi masuk ke dalam kelasnya masing-masing. Kedatangan Bu Wati disambut dengan ucapan salam dari seluruh muridnya dan menyuruh semua muridnya untuk kembali duduk.
“Sekarang keluarkan tugas mengarang yang ibu suruh kemarin. Ibu akan memberikan nilai kepada murid yang paling bagus dalam menuangkan cita-citanya,” ujar Bu Wati kepada seluruh murid.
Satu per satu murid mengeluarkan buku yang berisikan tugas mengarang. Dengan hati yangberdebar, setiap murid saling memperhatikan antara yang satu dengan yang lainnya ketika buku tugas itu dikumpulkan. Bu Wati dengan serius melihat isi karangan setiap muridnya. Kemudian, Bu Wati meminta kepada Roni untuk membacakan hasil karangannya di depan kelas. Roni tersedak dari lamunannya ketika Bu Wati memanggil namanya. Kemudian, ia berjalan ke depan dan membacakan hasil karangannya setelah Bu Wati memberikan buku tugas kepadanya.
“Cita-citaku ingin mejadi seorang polisi lalu lintas. Karena aku melihat pakaian seragamnya bagus dan penampilannya gagah serta berwibawa. Ia mengatur lalu lintas sambil meniupkan peluit. Sehingga arus lalu lintas berjalan lancar. Walau cita-citaku ini tidak mendapat dukungan dari orangtua, aku tetap berusaha keras untuk bisa mewujudkan keinginanku ini. Walau keadaan ekonomi keluarga kurang bagus tapi aku tidak mau diam dan berpangku tangan begitu saja. Aku akan tetap rajin belajar dan berusaha dengan sekuat tenaga agar nantinya cita-citaku ini dapat tercapai,” ucap Roni dengan bersemangat.
Setelah selesai membacakan hasil karangannya, Bu Wati tersenyum manis kepada Roni. Kemudian Bu Wati meminta kepada Rini untuk tampil di depan kelas membacakan hasil tugasnya. Begitu selanjutnya hingga semua murid bergiliran tampil di depan kelas. Bu Wati bangga usai mendengar cita-cita muridnya itu. Ada yang ingin jadi polisi, guru, dokter, atlit bahkan ada yang ingin jadi menteri.
“Itu semua adalah cita-cita yang bagus. Untuk itu, kalian harus tetap bersemangat dan rajin belajar. Walau keadaan ekonomi keluarga kurang bagus, jangan membuat kalian patah semangat dan akhirnya impian untuk meraih cita-cita itu kandas di tengah perjalanan. Bukan begitu, Roni? Raih keinginan kalian itu dengan cara belajar dan bekerja keras. Ibu yakin kedua orangtua kalian akan mendukung jika kalian mempunyai prestasi yang bagus. Tak ada orangtua yang tak ingin anaknya menjadi orang yang tak berguna,” ucap Bu Wati dengan panjang lebar memberi semangat.
Ternyata setelah semua tugas diperiksa dengan cermat oleh Bu Wati, Roni memperoleh angka sembilan. Karena hasil karangannya bagus dan menarik. Begitu melihat angka sembilan, Roni tersenyum bangga. Ia tak menyangka kalau hasil karangannya ternyata lebih baik dari teman-temannya.
Hingga akhirnya, ia mempunyai rencana ingin menunjukkan hasil karangannya kepada ayahnya. Agar ayahnya bisa mendukung cita-citanya yang ingin menjadi seorang polisi.
“Apa aku salah bila anak seorang tukang becak ingin menjadi polisi? Tidak! Itu tidak salah. Aku akan berusaha agar cita-citaku itu dapat terwujud nantinya,” desis Roni di dalam hatinya penuh semangat.
OPINI
Menurut saya, semua manusia berhak mempunyai cita-cita agar masa depannya menjadi cerah, tidak mengenal latar belakang apapun.
SUMBER
http://aquamarrine.co.cc/cerita-anak-anak/cerita-anak-anak-cita-cita-anak-tukang-becak/
NPM : 191110250
KELAS : 1KA24
Suasana kelas VI B SD Suka Cerdas mendadak hening setelah Bu Wati guru Bahasa Indonesia masuk ke ruang kelas. Bu Wati memperhatikan semua muridnya. “Sebentar lagi kalian semua akan meninggalkan bangku SD dan melanjutkan ke bangku SMP. Untuk itu, ibu menyuruh kalian agar mempersiapkan sebuah karangan bebas tentang cita-cita kalian setelah selesai menamatkan pendidikan. Besok, satu per satu akan membacakan hasil karangannya di depan kelas,” kata Bu Wati kepada seluruh murid.
Tanpa diperintahkan lagi, seluruh anak didik yang berada di dalam kelas sibuk membuat karangan. Suasana yang tadinya hening mendadak riuh karena murid yang satu dengan murid yang lain saling menanyakan apa cita-citanya nanti. Melihat hal itu, Bu Wati meminta agar semua murid mengerjakannya sendiri-sendiri.
“Ingat, jangan ada yang saling mencontek karena cita-citamu itu adalah keinginan yang akan kalian raih sendiri,” tegas Bu Wati.
Di bangku belakang, Roni terlihat tidak bersemangat padahal teman sebangkunya yang bernama Tono sedang berpikir sambil menuliskan cita-citanya itu ke dalam buku. Roni bingung karena ia belum bisa memikirkan apa cita-citanya nanti karena kehidupan keluarganya yang masih serba kekurangan. Ia adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Bapaknya hanya penarik becak barang sedangkan ibunya hanya pembantu rumah tangga.
“Apa pantas aku memiliki sebuah cita-cita setelah selesai menamatkan sekolah…? Padahal aku ingin jadi seorang polisi agar bisa berdiri mengatur lalu lintas. Karena kulihat pakaian seragamnya bagus dan gagah,” desis Roni dalam hatinya.
Tak lama kemudian, bel pulang sekolah berbunyi. Bu Wati meminta kepada seluruh murid agar tugas dikerjakan di rumah dan dikumpulkan besok. Bu Wati akan memberikan penilaian kepada murid yang paling bagus dalam mengarang itu.
Dengan langkah yang tak bersemangat, Roni pulang menuju rumahnya. Setelah mengucapkan salam, ia masuk ke dalam rumah. Usai makan siang, ia menemui ayahnya yang sedang beristirahat di depan sambil menikmati hidangan kopi pahit yang dibuat oleh ibunya.
“Ayah, tadi ibu guru memberikan tugas mengarang tentang apa cita-cita setelah lulus pendidikan. Roni berkeinginan jadi seorang polisi. Agar bisa berdiri tegak di perempatan jalan mengatur lalu lintas karena Roni senang melihatnya. Dengan pakaian seragam yang bagus membuat bapak polisi lalu lintas itu terlihat gagah,” ucap Roni sambil memijit-mijit kaki ayahnya.
Mendengar ucapan putranya itu, ayah Roni tertawa terbahak-bahak.
“Roni, kau ini aneh. Cita-citamu ingin menjadi polisi lalu lintas. Dari mana jalannya bisa kau raih. Untuk biaya sekolahmu saja, ayah dan ibumu tepaksa ngutang ke Pak Muslim. Belum lagi, biaya sekolah adikmu Sri dan Dini. Syukur saja ayah dan ibumu bisa menyekolahkanmu sampai SD. Sedangkan untuk SMP nantinya? Ayah dan ibu belum tahu apakah bisa menyekolahkan kau nantinya. Jadi, jangan pernah berhayal bisa jadi polisi,” kata ayah Roni sambil tersenyum.
“Tapi, Yah. Si Tono yang bapaknya pedagang asongan di perempatan jalan itu mempunyai cita-cita ingin jadi seorang guru. Agar bisa membuat orang pintar dan cerdas. Malahan, si Rini yang bapaknya penjahit itu ingin menjadi seorang dokter. Agar bisa nantinya mengobati orang yang sakit,” ujar Roni panjang lebar.
Untuk kedua kalinya, ayah Roni tertawa terbahak-bahak setelah mendengar ucapan putranya itu.
“Dengar ya! Itu semua hanya khayalan saja. Dari mana mereka mendapat uang untuk bisa meraih cita-citanya itu? Tak usah kau dengar apa cita-cita mereka. Cukup tugasmu bagaimana menyelesaikan sekolah di SD dengan bagus. Biar nanti, ayah dan ibumu tinggal memikirkan biaya sekolah kedua adikmu itu,” ucap ayah Roni sambil memandang putranya.
Mendengar ucapan ayahnya, Roni langsung masuk ke dalam rumah. Ia menumpahkan semua kesedihannya karena keinginan atau cita-citanya yang bagus itu ternyata tidak mendapat dukungan dari ayahnya. Di dalam kamar, ia menangis tersedu.
“Mengapa ayah tidak memberi dukungan kepadaku…? Apa salah bila aku bercita-cita jadi polisi setelah selesai pendidikan, seorang petugas polisi lalu lintas itu kan mulia, mengatur arus lalu lintas dan manusia ke berbagai tujuan,” desis Roni sambil menangis.
Walaupun begitu, malam harinya Roni tetap mengerjakan tugas dari gurunya. Karena ia tak mau nanti dimarahi gurunya gara-gara tidak mengerjakan tugas. Dengan serius, ia menuliskan keinginannya untuk menjadi seorang polisi walau ayahnya tidak mendukung cita-citanya itu.
Keesokan harinya setelah usai sarapan pagi bersama kedua orangtuanya dan juga adiknya. Roni mengucapkan salam untuk pergi ke sekolah. Ia mencium telapak tangan kedua orangtuanya. Dengan riang gembira, Roni terlihat bersemangat berjalan ke sekolah.
Setelah bel tanda masuk berbunyi, para murid SD Suka Cerdas segera berbaris rapi masuk ke dalam kelasnya masing-masing. Kedatangan Bu Wati disambut dengan ucapan salam dari seluruh muridnya dan menyuruh semua muridnya untuk kembali duduk.
“Sekarang keluarkan tugas mengarang yang ibu suruh kemarin. Ibu akan memberikan nilai kepada murid yang paling bagus dalam menuangkan cita-citanya,” ujar Bu Wati kepada seluruh murid.
Satu per satu murid mengeluarkan buku yang berisikan tugas mengarang. Dengan hati yangberdebar, setiap murid saling memperhatikan antara yang satu dengan yang lainnya ketika buku tugas itu dikumpulkan. Bu Wati dengan serius melihat isi karangan setiap muridnya. Kemudian, Bu Wati meminta kepada Roni untuk membacakan hasil karangannya di depan kelas. Roni tersedak dari lamunannya ketika Bu Wati memanggil namanya. Kemudian, ia berjalan ke depan dan membacakan hasil karangannya setelah Bu Wati memberikan buku tugas kepadanya.
“Cita-citaku ingin mejadi seorang polisi lalu lintas. Karena aku melihat pakaian seragamnya bagus dan penampilannya gagah serta berwibawa. Ia mengatur lalu lintas sambil meniupkan peluit. Sehingga arus lalu lintas berjalan lancar. Walau cita-citaku ini tidak mendapat dukungan dari orangtua, aku tetap berusaha keras untuk bisa mewujudkan keinginanku ini. Walau keadaan ekonomi keluarga kurang bagus tapi aku tidak mau diam dan berpangku tangan begitu saja. Aku akan tetap rajin belajar dan berusaha dengan sekuat tenaga agar nantinya cita-citaku ini dapat tercapai,” ucap Roni dengan bersemangat.
Setelah selesai membacakan hasil karangannya, Bu Wati tersenyum manis kepada Roni. Kemudian Bu Wati meminta kepada Rini untuk tampil di depan kelas membacakan hasil tugasnya. Begitu selanjutnya hingga semua murid bergiliran tampil di depan kelas. Bu Wati bangga usai mendengar cita-cita muridnya itu. Ada yang ingin jadi polisi, guru, dokter, atlit bahkan ada yang ingin jadi menteri.
“Itu semua adalah cita-cita yang bagus. Untuk itu, kalian harus tetap bersemangat dan rajin belajar. Walau keadaan ekonomi keluarga kurang bagus, jangan membuat kalian patah semangat dan akhirnya impian untuk meraih cita-cita itu kandas di tengah perjalanan. Bukan begitu, Roni? Raih keinginan kalian itu dengan cara belajar dan bekerja keras. Ibu yakin kedua orangtua kalian akan mendukung jika kalian mempunyai prestasi yang bagus. Tak ada orangtua yang tak ingin anaknya menjadi orang yang tak berguna,” ucap Bu Wati dengan panjang lebar memberi semangat.
Ternyata setelah semua tugas diperiksa dengan cermat oleh Bu Wati, Roni memperoleh angka sembilan. Karena hasil karangannya bagus dan menarik. Begitu melihat angka sembilan, Roni tersenyum bangga. Ia tak menyangka kalau hasil karangannya ternyata lebih baik dari teman-temannya.
Hingga akhirnya, ia mempunyai rencana ingin menunjukkan hasil karangannya kepada ayahnya. Agar ayahnya bisa mendukung cita-citanya yang ingin menjadi seorang polisi.
“Apa aku salah bila anak seorang tukang becak ingin menjadi polisi? Tidak! Itu tidak salah. Aku akan berusaha agar cita-citaku itu dapat terwujud nantinya,” desis Roni di dalam hatinya penuh semangat.
OPINI
Menurut saya, semua manusia berhak mempunyai cita-cita agar masa depannya menjadi cerah, tidak mengenal latar belakang apapun.
SUMBER
http://aquamarrine.co.cc/cerita-anak-anak/cerita-anak-anak-cita-cita-anak-tukang-becak/
Sabtu, 02 April 2011
BAB 7 MANUSIA DAN KEADILAN (Tulisan ke-2) Softskill
NAMA : DYNA MARLYNA SURYANI
NPM : 19110250
KELAS : 1KA24
PRODUK KEADILAN SEPANJANG GALAH
Hiruk pikuk memperingati 100 hari pemerintahan SBY-Boediono dapat diukur setidaknya dari dipenuhinya janji tentang penegakkan hukum. Alat ukurnya berupa produk keadilan yang memihak pada suara rakyat yang tumbuh dari peradilan mandiri.
Menegakkan keadilan tidak sama dengan menegakkan hukum. Yang satu berada pada tataran moral yang satu lagi bersumber pada hukum formal. Tataran moral bersumber pada nilai-nilai yang dianut masyarakat. Tataran formal bersumber pada kemauan penguasa.
Sudah merupakan sifat dasar atau karakteristik setiap pengadilan di semua lingkungan peradilan di Indonesia bahwa di dalam melakukan pemeriksaan dan mengadili perkara harus memiliki sikap mandiri. Putusan pengadilan yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat tidak dapat terwujud apabila dalam proses penjatuhan keputusannya hakim mendapat pengaruh kuat atau tekanan dari pihak diluar kekuasaan kehakiman.
Putusan yang jauh menyimpang dari rasa keadilan masyarakat akan menyebabkan berkurang atau bahkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan.
Apabila sementara ini pengadilan diharapkan mampu menjalankan fungsinya sebagai benteng terakhir keadilan, maka tidak tertutup kemungkinan dapat bergeser fungsinya menjadi benteng terakhir kekuasaan kehakiman. Terlebih lagi dengan adanya komitmen bangsa dan negara ini untuk mendeklarasikan secara aklamasi sebagai negara hukum seperti yang tertuang dalam dalam UUD 1945.
Maka adanya lembaga peradilan bebas merupakan salah satu pilar yang tidak dapat ditinggalkan di samping pilar lainnya yaitu adanya pengakuan, perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia di segala aspek dan juga adanya prinsip legalitas dalam arti hukum dalam segala hal adalah mutlak sangat diperlukan keberadaannya.
Masyarakat sangat berkepentingan terhadap peran lembaga yang mau dan mampu mengayomi masyarakat. Lembaga pengadilan yang ideal adalah lembaga yang dapat menyerap aspirasi masayarakat tentang makna keadilan dan kebutuhan hukum masyarakat yang nantinya akan diterjemahkan ke dalam putusan yang dijatuhkannya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa praktik peradilan akhir-akhir ini telah menunjukkan adanya keberpihakan. Sikap keberpihakan adalah sangat bertentangan dengan jiwa semangat eksistensi lembaga pengadilan itu sendiri yang wajib memperhatikan, memperlakukan, dan memberikan kesempatan yang sama kepada pihak yang bersengketa (equality before law).
Mengenai pentingnya kebebasan pengadilan di era penegakan hukum dan peningkatan supremasi hukum saat ini, pemerintah sebenarnya sudah menyadari kelemahan struktur lembaga pengadilan di masa lalu. Dimulai dengan UU No 19/1964 yang memberi peluang Presiden maupun penempatan Mahkamah Agung di bawah kekuasaan Presiden, yang kemudian dicabut dengan UU No 14/1970.
Dalam Undang Undang No 14/1970 dapat diketahui bahwa secara nonjudicial masing-masing lingkungan peradilan secara organisatoris, administratif dan finansial berada di bawah kekuasaan masing-masing departemen dan dalam menjalankan fungsi judicial berada di bawah kendali MA. Dengan berlakunya Undang Undang No 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh MA dan Badan Peradilan di bawahnya dan oleh MK.
Prioritas
Badan Peradilan di bawah MA meliputi badan peradilan dalam lingkup Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan PTUN. Yang menjadi pertanyaan apakah serangkaian peraturan yang menjadi hukum positif tersebut telah mengatur secara tegas tentang jalan ke luar yang ditempuh apabila realitas menunjukkan telah terjadi pertentangan antara nilai keadilan dan kepastian hukum? Pada perkara ini, nilai manakah yang harus diprioritaskan?
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa hal tersebut tidak secara tegas diatur secara eksplisit dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai hukum positif. Meski dalam rancangan atau konsep Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) baru telah dicantumkan tentang keseimbangan antara kepastian hukum yang merupakan hukum formal dan nilai keadilan yang bersifat patokan materiil, perancang KUHP baru tampaknya menyadari bahwa keduanya, yakni keadilan dan kepastian hukum akan menjadi sumber konflik atau pertentangan. Dan akhirnya perancang KUHP baru meyakini dalam konflik ini tentunya harus ada salah satu yang dimenangkan, yakni nilai keadilan.
Dari penjelasan di atas, telah nyata gambaran yang kita peroleh bahwa sesungguhnya pada yuris atau ahli hukum kita menghendaki terciptanya keseimbangan antara nilai keadilan dan kepastian hukum. Dan jika kemudian timbul konflik antara keduanya tentu keadilan yang harus mendapat pemihakan. Namun muncul dilemma, apakah demi keadilan harus mengorbankan kepastian hukum? Jawabannya sudah barang tentu tidak.
Dengan demikian tugas hakim ke depan tidaklah seperti mesin robot yang bekerja secara mekanis. Sebab ia harus menegakkan keadilan dan sekaligus menegakkan hukum. Senyampang dengan itu untuk menilai proses penegakkan keadilan di 100 hari pemerintahan SBY-Boediono tentunya ukuran yang paling mudah adalah seberapa besar putusan pengadilan yang ada selama ini mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat. Artinya proses pengadilan ini seperti perjalanan panjang dan produk keadilan hanyalah sepanjang galah. - Oleh : Muhammad Taufiq, Advokat Mahasiswa S3 Ilmu Hukum
OPINI
Menurut saya, setiap manusia berhak diberi keadilan dan mengenai pentingnya kebebasan pengadilan di era penegakan hukum dan peningkatan supremasi hukum saat ini, pemerintah sebenarnya sudah menyadari kelemahan struktur lembaga pengadilan di masa lalu
SUMBER
http://artikel-media.blogspot.com/2010/02/produk-keadilan-sepanjang-galah.html
NPM : 19110250
KELAS : 1KA24
PRODUK KEADILAN SEPANJANG GALAH
Hiruk pikuk memperingati 100 hari pemerintahan SBY-Boediono dapat diukur setidaknya dari dipenuhinya janji tentang penegakkan hukum. Alat ukurnya berupa produk keadilan yang memihak pada suara rakyat yang tumbuh dari peradilan mandiri.
Menegakkan keadilan tidak sama dengan menegakkan hukum. Yang satu berada pada tataran moral yang satu lagi bersumber pada hukum formal. Tataran moral bersumber pada nilai-nilai yang dianut masyarakat. Tataran formal bersumber pada kemauan penguasa.
Sudah merupakan sifat dasar atau karakteristik setiap pengadilan di semua lingkungan peradilan di Indonesia bahwa di dalam melakukan pemeriksaan dan mengadili perkara harus memiliki sikap mandiri. Putusan pengadilan yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat tidak dapat terwujud apabila dalam proses penjatuhan keputusannya hakim mendapat pengaruh kuat atau tekanan dari pihak diluar kekuasaan kehakiman.
Putusan yang jauh menyimpang dari rasa keadilan masyarakat akan menyebabkan berkurang atau bahkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan.
Apabila sementara ini pengadilan diharapkan mampu menjalankan fungsinya sebagai benteng terakhir keadilan, maka tidak tertutup kemungkinan dapat bergeser fungsinya menjadi benteng terakhir kekuasaan kehakiman. Terlebih lagi dengan adanya komitmen bangsa dan negara ini untuk mendeklarasikan secara aklamasi sebagai negara hukum seperti yang tertuang dalam dalam UUD 1945.
Maka adanya lembaga peradilan bebas merupakan salah satu pilar yang tidak dapat ditinggalkan di samping pilar lainnya yaitu adanya pengakuan, perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia di segala aspek dan juga adanya prinsip legalitas dalam arti hukum dalam segala hal adalah mutlak sangat diperlukan keberadaannya.
Masyarakat sangat berkepentingan terhadap peran lembaga yang mau dan mampu mengayomi masyarakat. Lembaga pengadilan yang ideal adalah lembaga yang dapat menyerap aspirasi masayarakat tentang makna keadilan dan kebutuhan hukum masyarakat yang nantinya akan diterjemahkan ke dalam putusan yang dijatuhkannya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa praktik peradilan akhir-akhir ini telah menunjukkan adanya keberpihakan. Sikap keberpihakan adalah sangat bertentangan dengan jiwa semangat eksistensi lembaga pengadilan itu sendiri yang wajib memperhatikan, memperlakukan, dan memberikan kesempatan yang sama kepada pihak yang bersengketa (equality before law).
Mengenai pentingnya kebebasan pengadilan di era penegakan hukum dan peningkatan supremasi hukum saat ini, pemerintah sebenarnya sudah menyadari kelemahan struktur lembaga pengadilan di masa lalu. Dimulai dengan UU No 19/1964 yang memberi peluang Presiden maupun penempatan Mahkamah Agung di bawah kekuasaan Presiden, yang kemudian dicabut dengan UU No 14/1970.
Dalam Undang Undang No 14/1970 dapat diketahui bahwa secara nonjudicial masing-masing lingkungan peradilan secara organisatoris, administratif dan finansial berada di bawah kekuasaan masing-masing departemen dan dalam menjalankan fungsi judicial berada di bawah kendali MA. Dengan berlakunya Undang Undang No 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh MA dan Badan Peradilan di bawahnya dan oleh MK.
Prioritas
Badan Peradilan di bawah MA meliputi badan peradilan dalam lingkup Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan PTUN. Yang menjadi pertanyaan apakah serangkaian peraturan yang menjadi hukum positif tersebut telah mengatur secara tegas tentang jalan ke luar yang ditempuh apabila realitas menunjukkan telah terjadi pertentangan antara nilai keadilan dan kepastian hukum? Pada perkara ini, nilai manakah yang harus diprioritaskan?
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa hal tersebut tidak secara tegas diatur secara eksplisit dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai hukum positif. Meski dalam rancangan atau konsep Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) baru telah dicantumkan tentang keseimbangan antara kepastian hukum yang merupakan hukum formal dan nilai keadilan yang bersifat patokan materiil, perancang KUHP baru tampaknya menyadari bahwa keduanya, yakni keadilan dan kepastian hukum akan menjadi sumber konflik atau pertentangan. Dan akhirnya perancang KUHP baru meyakini dalam konflik ini tentunya harus ada salah satu yang dimenangkan, yakni nilai keadilan.
Dari penjelasan di atas, telah nyata gambaran yang kita peroleh bahwa sesungguhnya pada yuris atau ahli hukum kita menghendaki terciptanya keseimbangan antara nilai keadilan dan kepastian hukum. Dan jika kemudian timbul konflik antara keduanya tentu keadilan yang harus mendapat pemihakan. Namun muncul dilemma, apakah demi keadilan harus mengorbankan kepastian hukum? Jawabannya sudah barang tentu tidak.
Dengan demikian tugas hakim ke depan tidaklah seperti mesin robot yang bekerja secara mekanis. Sebab ia harus menegakkan keadilan dan sekaligus menegakkan hukum. Senyampang dengan itu untuk menilai proses penegakkan keadilan di 100 hari pemerintahan SBY-Boediono tentunya ukuran yang paling mudah adalah seberapa besar putusan pengadilan yang ada selama ini mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat. Artinya proses pengadilan ini seperti perjalanan panjang dan produk keadilan hanyalah sepanjang galah. - Oleh : Muhammad Taufiq, Advokat Mahasiswa S3 Ilmu Hukum
OPINI
Menurut saya, setiap manusia berhak diberi keadilan dan mengenai pentingnya kebebasan pengadilan di era penegakan hukum dan peningkatan supremasi hukum saat ini, pemerintah sebenarnya sudah menyadari kelemahan struktur lembaga pengadilan di masa lalu
SUMBER
http://artikel-media.blogspot.com/2010/02/produk-keadilan-sepanjang-galah.html
BAB 7 MANUSIA DAN KEADILAN (Tulisan ke-1) Softskill
NAMA : DYNA MARLYNA SURYANI
NPM : 19110250
KELAS : 1KA24
MENCARI KEADILAN DALAM KASUS BLBI
Sejumlah saksi dan pejabat yang terkait dalam dugaan kasus korupsi dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dipanggil dan diminta keterangan lagi oleh Kejaksaan Agung. Langkah ini sesungguhnya bukan hal yang baru karena sebelumnya berulang kali Kejaksaan memeriksa mereka yang tersangkut BLBI. Sebagian obligor BLBI juga telah diadili. Meskipun ada terpidana yang berhasil kabur, ada juga yang telah mendekam di penjara seperti David Nusa Wijaya yang sebelumnya sempat melarikan diri. Bahkan untuk menuntaskan kasus BLBI, pada pertengahan 2007 lalu, Kejaksaan Agung menyiapkan 35 Jaksa yang secara khusus disiapkan untuk menangani kasus BLBI.
Namun demikian, tekad Kejaksaaan Agung untuk menyelesaikan kasus BLBI dipertanyakan. Terutama karena Kejaksaaan Agung tidak pernah secara terbuka mengungkapkan kebijakan penegakan hukum dalam kasus BLBI. Keterbukaan dan kejelasan arah kebijakan menjadi sangat penting dalam kasus BLBI, terutama karena luasnya dimensi pelanggaran hukum dalam kasus BLBI. Kasus BLBI tidak hanya terbatas pada penyalahgunaan dana dari BI, tetapi juga pada pengalihan aset, divestasi aset dan bahkan ada indikasi korupsi dalam penegakan hukum BLBI.
Kontroversi BLBI
Karena melibatkan para konglomerat besar dan pejabat teras, pemeriksaan kasus BLBI selalu mengundang kontroversi. Apalagi penyelesaian yang berlarut-larut menunjukkan betapa pemerintah dan khususnya penegak hukum tidak mempunyai sikap yang jelas dan tegas. Ada beberapa catatan penting terkait dengan kontroversi BLBI.
Pertama, dari sisi kebijakan tampak ada inkonsistensi. Para jaksa di Gedung Bundar terlihat sibuk melakukan pemeriksaan dengan memanggil banyak saksi. Akan tetapi tidak ada upaya yang serius, bahkan cenderung tutup mata terhadap kebijakan resmi pemerintah dalam penyelesaian BLBI. Adalah Inpres No. 8 tahun 2002 yang membebaskan obligor BLBI dari tuntutan pidana bila telah mengantongi surat keterangan lunas (SKL). Keberadaan Inpres No. 8 tahun 2002 menunjukkan bagaimana jaksa tampak tidak serius menegakan hukum. Seharusnya, sebelum melakukan pemeriksaan, Jaksa bisa meminta Presiden untuk mencabut Inpres yang kontradiktif dengan hukum positif di Indonesia karena pengembalian kerugian negara tidak serta merta menghilangkan aspek pidana.
Kedua, Jaksa hanya memanggil tersangka tertentu saja. Pada bulan Desember 2007 lalu, yang dipanggil adalah Anthony Salim yang mewakili Keluarga Soedono Salim, mantan pemilik BCA. Bagaimana dengan tersangka yang lain? Ada lebih dari 50 tersangka dalam kasus BLBI tetapi tidak semua diperlakukan sama oleh Kejaksaaan. Bahkan ada obligor yang belum mengantongi SKL tidak pernah diperiksa secara terbuka oleh Kejaksaaan.
Ketiga, dalam kasus korupsi ada istilah “it takes two to tango”. Korupsi selalu melibatkan lebih dari satu pihak, baik yang diperkaya secara tidak sah maupun pejabat publik yang menyalahgunakan kekuasaan. Kasus BLBI tidak hanya melibatkan pengusaha yang merugikan negara, tetapi juga otoritas perbankan yang mengucurkan dana BLBI. Dalam perkembangannya, tidak tampak upaya Kejaksaan untuk mengejar pertanggungjawaban otoritas perbankan yang memberikan BLBI tanpa melakukan pengawasan dengan benar. Bahkan Kejaksaan Agung juga tidak meninjau kembali SP3 yang dikeluarkan terhadap mantan Direktur Bank Indonesia, padahal pada saat yang sama media massa dengan gencar mempersoalkan korupsi dana BI yang diduga juga dipergunakan untuk kepentingan pejabat BI.
Keempat, persidangan kasus BLBI juga tidak menunjukkan keseriusan pemerintah dan pengadilan untuk menjatuhkan hukuman seberat-beratnya terhadap tersangka kasus korupsi paling besar dalam sejarah republik ini. Coba lihat statistik penanganan kasus korupsi BLBI, tampak tidak ada pemidanaan yang menjerakan. Dari dokumentasi ICW, dari 16 kasus yang sudah dituntaskan di pengadilan, hukuman penjara seumur hidup dan 20 tahun hanya dijatuhkan pada terdakwa yang telah melarikan diri. Sedangkan sisanya mendapat hukuman ringan, bahkan lebih dari 50% dihukum di bawah dua tahun. Lalu bagaimana dengan yang lain? Sebagian diantaranya telah mengantongi SKL, dihentikan proses hukumnya melalui SP3 dan ada pula yang tidak jelas status hukumnya.
Keadilan bagi semua
Agar kasus BLBI bisa diselesaikan, dan tidak menjadi komoditi politik dan hukum serta berujung pada mafia peradilan, ada beberapa langkah yang harus diambil oleh pemerintah. Pertama, pemerintah harus mencabut Inpres No. 8 tahun 2002 yang memberikan kekebalan hukum bagi obligor dianggap melunasi kewajibannya. Tanpa pencabutan Inpres itu, jangan pernah berharap ada penegakan hukum dalam kasus BLBI. Publik juga akan pesimis bahwa semua tindakan pemanggilan saksi dan tersangka hanya akan berakhir pada “/deal”/ untuk kepentingan penegak hukum dan elit politik.
Kedua, sebetulnya secara finansial kerugian yang ditimbulkan oleh BLBI sangat besar. Utang yang semula dikucurkan Rp. 144,53 triliun kini telah membengkak lebih dari Rp. 600 triliun yang harus dibayar oleh APBN. Utang konglomerat kini harus dibayar oleh rakyat melalui APBN yang dibiayai dari berbagai pungutan, pajak, dan pendapatan negara lainnya. Dalam kasus BLBI, sesungguhnya asset recovery tidak signifikan lagi. Pembayaran utang konglomerat pengemplang BLBI itu kini tidak sebanding lagi dengan beban yang harus ditanggung oleh APBN. Karena itu, penegakan hukum adalah opsi terbaik karena selain menciptakan kepastian hukum dan keadilan bagi seluruh rakyat, penegakan hukum juga menciptakan rasa takut agar tindakan serupa tidak akan dilakukan lagi di masa depan.
Ketiga, kasus BLBI bukan hanya soal penyalahgunaan dana BI itu. Ada tindak pidana lain seperti baru-baru ini terungkap Tommy Soeharto membeli kembali asetnya melalui perusahaan lain atau /vehicle company/. Oleh karena itu, dalam kasus BLBI, KPK juga bisa turun tangan karena ada banyak tindak pidana yang terjadi setelah KPK didirikan sehingga tidak ada hambatan pelanggaran asas retroaktif.
Keempat, Kejaksaaan Agung juga harus melakukan pemeriksaan internal. Siapa jaksa yang memberi ijin keluar negeri tersangka sehingga mereka berhasil melarikan diri? Siapa jaksa yang memutuskan untuk menghentikan perkara melalui SP3? Pemeriksaan internal menjadi penting terutama agar dugaan pemerasan dan mafia peradilan di balik pengungkapan kasus BLBI juga bisa dituntaskan. Terutama agar penyelesaian kasus BLBI benar-benar mengedepankan keadilan bagi semua.
Akibat dari kebijakan BLBI, kini setiap tahun pemerintah harus mengalokasikan pembayaran beban hutang. Kebijakan BLBI pada dasarnya adalah pengalihan hutang swasta menjadi hutang publik yang memberatkan keuangan negara. Besarnya alokasi untuk pembiayaan hutang itu jauh melebihi anggaran pendidikan, kesehatan dan subsidi sosial lainnya. Ujung-ujungnya, masyarakat yang harus menanggung beban itu. Karenanya, soal keadilan bagi semua menjadi sangat relevan dalam kasus BLBI. Keadilan dan juga kepastian hukum tidak hanya milik para tersangka, tetapi juga bagi korban, yakni seluruh rakyat Indonesia.
OPINI
Menurut saya, hukum di Indonesia masih kurang tegas dalam melakukan tuntutan atau sejenisnya, karena buktinya masih saja banyak pejabat tingi yang korupsi,seperti kasus BLBI ini
SUMBER
http://danangwd.wordpress.com/2008/04/08/mencari-keadilan-dalam-kasus-blbi/
NPM : 19110250
KELAS : 1KA24
MENCARI KEADILAN DALAM KASUS BLBI
Sejumlah saksi dan pejabat yang terkait dalam dugaan kasus korupsi dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dipanggil dan diminta keterangan lagi oleh Kejaksaan Agung. Langkah ini sesungguhnya bukan hal yang baru karena sebelumnya berulang kali Kejaksaan memeriksa mereka yang tersangkut BLBI. Sebagian obligor BLBI juga telah diadili. Meskipun ada terpidana yang berhasil kabur, ada juga yang telah mendekam di penjara seperti David Nusa Wijaya yang sebelumnya sempat melarikan diri. Bahkan untuk menuntaskan kasus BLBI, pada pertengahan 2007 lalu, Kejaksaan Agung menyiapkan 35 Jaksa yang secara khusus disiapkan untuk menangani kasus BLBI.
Namun demikian, tekad Kejaksaaan Agung untuk menyelesaikan kasus BLBI dipertanyakan. Terutama karena Kejaksaaan Agung tidak pernah secara terbuka mengungkapkan kebijakan penegakan hukum dalam kasus BLBI. Keterbukaan dan kejelasan arah kebijakan menjadi sangat penting dalam kasus BLBI, terutama karena luasnya dimensi pelanggaran hukum dalam kasus BLBI. Kasus BLBI tidak hanya terbatas pada penyalahgunaan dana dari BI, tetapi juga pada pengalihan aset, divestasi aset dan bahkan ada indikasi korupsi dalam penegakan hukum BLBI.
Kontroversi BLBI
Karena melibatkan para konglomerat besar dan pejabat teras, pemeriksaan kasus BLBI selalu mengundang kontroversi. Apalagi penyelesaian yang berlarut-larut menunjukkan betapa pemerintah dan khususnya penegak hukum tidak mempunyai sikap yang jelas dan tegas. Ada beberapa catatan penting terkait dengan kontroversi BLBI.
Pertama, dari sisi kebijakan tampak ada inkonsistensi. Para jaksa di Gedung Bundar terlihat sibuk melakukan pemeriksaan dengan memanggil banyak saksi. Akan tetapi tidak ada upaya yang serius, bahkan cenderung tutup mata terhadap kebijakan resmi pemerintah dalam penyelesaian BLBI. Adalah Inpres No. 8 tahun 2002 yang membebaskan obligor BLBI dari tuntutan pidana bila telah mengantongi surat keterangan lunas (SKL). Keberadaan Inpres No. 8 tahun 2002 menunjukkan bagaimana jaksa tampak tidak serius menegakan hukum. Seharusnya, sebelum melakukan pemeriksaan, Jaksa bisa meminta Presiden untuk mencabut Inpres yang kontradiktif dengan hukum positif di Indonesia karena pengembalian kerugian negara tidak serta merta menghilangkan aspek pidana.
Kedua, Jaksa hanya memanggil tersangka tertentu saja. Pada bulan Desember 2007 lalu, yang dipanggil adalah Anthony Salim yang mewakili Keluarga Soedono Salim, mantan pemilik BCA. Bagaimana dengan tersangka yang lain? Ada lebih dari 50 tersangka dalam kasus BLBI tetapi tidak semua diperlakukan sama oleh Kejaksaaan. Bahkan ada obligor yang belum mengantongi SKL tidak pernah diperiksa secara terbuka oleh Kejaksaaan.
Ketiga, dalam kasus korupsi ada istilah “it takes two to tango”. Korupsi selalu melibatkan lebih dari satu pihak, baik yang diperkaya secara tidak sah maupun pejabat publik yang menyalahgunakan kekuasaan. Kasus BLBI tidak hanya melibatkan pengusaha yang merugikan negara, tetapi juga otoritas perbankan yang mengucurkan dana BLBI. Dalam perkembangannya, tidak tampak upaya Kejaksaan untuk mengejar pertanggungjawaban otoritas perbankan yang memberikan BLBI tanpa melakukan pengawasan dengan benar. Bahkan Kejaksaan Agung juga tidak meninjau kembali SP3 yang dikeluarkan terhadap mantan Direktur Bank Indonesia, padahal pada saat yang sama media massa dengan gencar mempersoalkan korupsi dana BI yang diduga juga dipergunakan untuk kepentingan pejabat BI.
Keempat, persidangan kasus BLBI juga tidak menunjukkan keseriusan pemerintah dan pengadilan untuk menjatuhkan hukuman seberat-beratnya terhadap tersangka kasus korupsi paling besar dalam sejarah republik ini. Coba lihat statistik penanganan kasus korupsi BLBI, tampak tidak ada pemidanaan yang menjerakan. Dari dokumentasi ICW, dari 16 kasus yang sudah dituntaskan di pengadilan, hukuman penjara seumur hidup dan 20 tahun hanya dijatuhkan pada terdakwa yang telah melarikan diri. Sedangkan sisanya mendapat hukuman ringan, bahkan lebih dari 50% dihukum di bawah dua tahun. Lalu bagaimana dengan yang lain? Sebagian diantaranya telah mengantongi SKL, dihentikan proses hukumnya melalui SP3 dan ada pula yang tidak jelas status hukumnya.
Keadilan bagi semua
Agar kasus BLBI bisa diselesaikan, dan tidak menjadi komoditi politik dan hukum serta berujung pada mafia peradilan, ada beberapa langkah yang harus diambil oleh pemerintah. Pertama, pemerintah harus mencabut Inpres No. 8 tahun 2002 yang memberikan kekebalan hukum bagi obligor dianggap melunasi kewajibannya. Tanpa pencabutan Inpres itu, jangan pernah berharap ada penegakan hukum dalam kasus BLBI. Publik juga akan pesimis bahwa semua tindakan pemanggilan saksi dan tersangka hanya akan berakhir pada “/deal”/ untuk kepentingan penegak hukum dan elit politik.
Kedua, sebetulnya secara finansial kerugian yang ditimbulkan oleh BLBI sangat besar. Utang yang semula dikucurkan Rp. 144,53 triliun kini telah membengkak lebih dari Rp. 600 triliun yang harus dibayar oleh APBN. Utang konglomerat kini harus dibayar oleh rakyat melalui APBN yang dibiayai dari berbagai pungutan, pajak, dan pendapatan negara lainnya. Dalam kasus BLBI, sesungguhnya asset recovery tidak signifikan lagi. Pembayaran utang konglomerat pengemplang BLBI itu kini tidak sebanding lagi dengan beban yang harus ditanggung oleh APBN. Karena itu, penegakan hukum adalah opsi terbaik karena selain menciptakan kepastian hukum dan keadilan bagi seluruh rakyat, penegakan hukum juga menciptakan rasa takut agar tindakan serupa tidak akan dilakukan lagi di masa depan.
Ketiga, kasus BLBI bukan hanya soal penyalahgunaan dana BI itu. Ada tindak pidana lain seperti baru-baru ini terungkap Tommy Soeharto membeli kembali asetnya melalui perusahaan lain atau /vehicle company/. Oleh karena itu, dalam kasus BLBI, KPK juga bisa turun tangan karena ada banyak tindak pidana yang terjadi setelah KPK didirikan sehingga tidak ada hambatan pelanggaran asas retroaktif.
Keempat, Kejaksaaan Agung juga harus melakukan pemeriksaan internal. Siapa jaksa yang memberi ijin keluar negeri tersangka sehingga mereka berhasil melarikan diri? Siapa jaksa yang memutuskan untuk menghentikan perkara melalui SP3? Pemeriksaan internal menjadi penting terutama agar dugaan pemerasan dan mafia peradilan di balik pengungkapan kasus BLBI juga bisa dituntaskan. Terutama agar penyelesaian kasus BLBI benar-benar mengedepankan keadilan bagi semua.
Akibat dari kebijakan BLBI, kini setiap tahun pemerintah harus mengalokasikan pembayaran beban hutang. Kebijakan BLBI pada dasarnya adalah pengalihan hutang swasta menjadi hutang publik yang memberatkan keuangan negara. Besarnya alokasi untuk pembiayaan hutang itu jauh melebihi anggaran pendidikan, kesehatan dan subsidi sosial lainnya. Ujung-ujungnya, masyarakat yang harus menanggung beban itu. Karenanya, soal keadilan bagi semua menjadi sangat relevan dalam kasus BLBI. Keadilan dan juga kepastian hukum tidak hanya milik para tersangka, tetapi juga bagi korban, yakni seluruh rakyat Indonesia.
OPINI
Menurut saya, hukum di Indonesia masih kurang tegas dalam melakukan tuntutan atau sejenisnya, karena buktinya masih saja banyak pejabat tingi yang korupsi,seperti kasus BLBI ini
SUMBER
http://danangwd.wordpress.com/2008/04/08/mencari-keadilan-dalam-kasus-blbi/
Langganan:
Postingan (Atom)